Langsung ke konten utama

Peran pedagogik dalam menghadapi fenomena di Indonesia: Belajar dari Ki Hadjar Dewantara

PERTANYAAN:

Ki Hadjar Dewantara pernah menyatakan bahwa usaha kebudayaan harus menuju ke arah kemajuan adab, budaya dan persatuan bangsa, dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembang atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri serta mempertinggi derajad kemanusiaan bangsa Indonesia. Bagaimana peran pedagogik dalam menghadapi fenomena dewasa ini?

ALTERNATIF JAWABAN:
Kita perlu refleksi kembali pandangan-pandangan Ki Hadjar Dewantara tentang kebudayaan dan kaitannya dengan pedagogik.
Ki H.G Soedijono mengembangkan konsep kebudayaan Ki Hajar Dewantara dari perspektif modern. Ada empat prinsip kebudayaan Ki Hadjar Dewantara, yaitu:
1)        Adat sebagai fenomena kebudayaan.
Ki Hajar Dewantara menjelaskannya dalam majalah Wisata tahun 1933, bahwa adat merupakan dasar dari setiap kebudayaan Walaupun demikian, bukan berarti Ki Hajar dewantara mempertahankan adat lama tanpa melakukan perubahan-perubahan. Dalam hal ini Ki hajar dewantara menggunakan istilah masyarakat terbuka di dalam menerima pengaruh luar dengan jaminan tidak akan mengganggu gerakan kebangsaan. Maksudnya, pengakuan terhadap adat bukan berarti menolak setiap adat baru yang berguna bagi perkembangan masyarakat Indonesia
2)        Kebangkitan kesadaran berbudaya,
Dituangkan oleh Ki Hajar Dewantara dengan munculnya perguruan nasional Tamansiswa pada tahun 1922 yang bergerak di bidang pendidikan dan pengajaran. Konsep dasar taman siswa adalah menyadarkan bangsa Indonesia akan nilai kemerdekaan dan kebebasan kebudayaan bangsa.
3)        Arti kebudayaan.
Dalam majalah pusara yang terbit pada tahun 1941 Ki Hajar Dewantara telah mengupas panjang lebar tentang kebudayaan sebagai buah budi manusia yang menunjukan corak-corak khusus dari budi manusia yang menimbulkannya. Kebudayaan dibentuk dari unsur bakat, kodrat alam dan hidup bersama yang digunakan untuk meningkatkan taraf kehidupan. Yang terpenting dalam kebudayaan, di samping unsur bakat dan kodrat alam adalah unsur hidup bersama. Dalam kehidupan bersama inilah lahirnya apa yang disebut kultur yang bukan hanya berarti buah budi manusia juga implisit mengandung arti memelihara.
4)        Percampuran kebudayaan
Menurut Ki Hadjar Dewantara:
a.    Kehidupan manusia tidak terlepas dari kehidupan makhluk pada umumnya
b.    Kebudayaan dapat kawin dengan kebudayaan lain secara asosiasi dan asimilasi
c.    kebudayaan hidup menurut hukum selesksi
d.   Kebudayaan dipengaruh oleh alam sekeliling, yaitu kodrat dan masyarakat
e.    Dalam kebudayaan ada hukum hidup
f.     Kebudayaan suatu bangsa berdasarkan kepada kemanusiaan
g.    Disamping kodrat yang membentuk zamandan masyarakat, maka manusia harus
b)   berusaha untuk memajukan kebudayaan tersebut
Selanjutnya, berdasarkan pandangan Soedjatmoko (dalam Yudhiani, 2014) yang mengglobal mempunyai mempunyai satu titik tolak yaitu berdasarkan kebudayaan dari masyarakat yang memiliki kebudayaan itu adalah nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Pegangan itu adalah nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan tradisional kita masing-masing. Nilai-nilai itu perlu digali dan disesuaikan dengan tuntutan zaman.
Ada tiga peran yg menentukan gerak masyarakat ke arah modern, yaitu
1)        Peran pendidikan dan sistem pendidikan
Dalam hal ini Soedjatmoko melihat peranan (1) pendidikan humaniora, yang berfungsi untuk mengembangkan empati dan toleransi, (2) Peran pembangunan yang dilaksanakan, karena pembangunan seharusnya merupakan Suatu proses belajar atau proses empowerment
2)        Keterbukaan Indonesia dari Kebudayaan Asing
Berdasarkan uraian di atas, pedagogik memiliki peran sentral untuk menempatkan manusia sebagai manusia seutuhnya, sesuai jati diri dan fitrahnya, manusia. Pedagogik berperan untuk meningkatkan kapasitas manusia yang religius, bermoral, berbudaya, yang cerdas, sehat, mandiri yang dapat meningkatkan kemuliaan, kesejahteraan, dan kebahagiaan diri dan orang lain. Ini dapat diperoleh melalui proses pendidikan, baik di sekolah, di masyarakat, maupun di keluarga. Karena manusia sebagai makhluk sosial maka fitrahnya untuk berinteraksi dengan manusia lain dalam komunitas sosial budaya lokal, nasional, dan global. Sehingga pedagogik melalui teori dan praktiknya menjadi kawah, alat, saran pelestari kebudayaan sebagaimana diamanatkan pada Kongres Kebudayaan yang Pertama. Ini juga sesuai dengan perkembangan teori-teori sosiologi seperti Emile Durkheim bahwa sekolah memiliki peran sebagai pelestari, penjaga moral melalui nilai-nilai yang ada dalam komunitas masyarakat. Dan merujuk pada Ki Hadjar Dewantara dan Soedjatmoko perlu adanya keterbukaan terhadap kebudayaan asing sepanjang kebudayaan itu melalui proses seleksi, akulturasi, akomodasi mempertimbangkan kearifan lokal. Artinya, sepanjang hasil kebudayaan yang berupa nilai-nilai, artefak, atau produk asing itu tidak menyimpang dengan ideology, filosofi, bangsa Indonesia namun malah memperkaya atau memperkuat kebudayaan nasional maka pendidikan tidak perlu merisaukan.
Ini berarti, pedagogic kritis dikembangkan untuk terus menganalisis pengaruh-pengaruh modernisasi asing terhadap transformasi sosial atau jati diri bangsa. Pedagogic melalui teori-teori yang dikembangkan perlu terus mengembangkan model, pola, strategi formulasi pendidikan praktis yang humanis, demokratis, yang mengedepankan karakteristik peserta didik, yang menginternalisasi aspek dan sistem kultural (lokal dan nasional). Harapannya, pendidikan sebagai pelestari kebudayaan lokal dan nasional untuk memperkuat harkat, martabat, dan jati diri bangsa sebagai bangsa yang luhur dan berkepribadian, namun untuk menjadi bagian dari dunia internasional yang bertanggungjawab maka pendidikan haruslah berwawasan terbuka karena tidak mungkin bangsa Indonesia hidup sebagai bangsa yang mandiri.

Pengaruh budaya asing tidak mungkin dihindari karena kemajuan dan peradaban bersifat dinamis dengan adanya kerjasama dan hubungan dengan bangsa lain. Pendidikan hanyalah perlu menyediakan formula yang baik sehingga dapat mengembangkan kebudayaan sebagai alat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Salah satu contohnya adalah pengembangan sekolah berbasis agama, berbasis entrepreneurship, berbasis lingkungan hidup, boarding school, dll. Taman Siswa - Ki Hadjar Dewantara tidak sekadar menjadi pusat pendidikan saja, melainkan juga sebagai pusat kebudayaan masyarakat sekitarnya dan pusat gerakan sosial-masyarakat. Untuk mendukung terciptanya siswa yang berkepribadian dan dekat dengan rakyat itulah pendidikan perlu menggunakan sistem pondok atau asrama. Dalam asrama tersebut anak-anak harus dapat belajar menolong diri sendiri dan hidup bersahaja. Pancasila sebagai filsafat dan ideology bangsa maka relevan untuk menjadi landasan filosofis ideologis untuk mengatasi persoalan-persoalan pendidikan dan kebudayaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pendidikan Matematika (1)

Landasan Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pendidikan Matematika (1) PENGANTAR Ini merupakan pokok bahasan pertama perkuliahan “Kajian Kurikulum Matematika”, oleh Prof Dr Marsigit, M.A. Mata Kuliah ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan dan pelayanan kepada mahasiswa Program S3 Prodi Ilmu Pendidikan Konsentrasi Pendidikan Matematika, untuk membangun pemahaman dan memperoleh pengalaman mengembangkan Kurikulum Matematika dengan cara mengkaji, meneliti dan mensimulasikan Model Pengembangan Kurikulum Matematika. Kompetensi dasar sesuai dengan silabus beliau adalah “Mengkaji, memahami, menghasilkan,  mengelola dan menerapkan landasan pengembangan kurikulum matematika dan pendidikan matematika”. Kelas kami ada 9 orang perempuan semua, yaitu: Bu Salamia, Mb Rifa, Mb Puji, Mb Niken, Mb Dhian, Mb Nila (ijin), Mb Dhona, Mb Irma, dan saya. Pertemuan pertama kami tidak sampai 3 SKS karena beliau ada urusan dinas, yaitu sebagai Sekretaris Senat UNY. Beliau juga banyak tugas dinas kel

Perbandingan Filsafat Pendidikan Aliran Esensialisme dan Perenialisme

Aliran/ Aspek Esensialisme Perenialisme Konsep pendidikan ü Berakar dari filsafat idealisme dan relisme (Ornstein & Levine, 1985:189; Knight dalam Arif, 2007:176) ü Prinsip sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasar, belajar adalah usaha keras dan menuntut kedisiplinan, guru adalah lokus otoritas ruang kelas (Knight dalam Arif, 2007:178-180) ü K a um e s e ns i a l i s y a kin a da b e b e r a p a k e a hl i a n y a ng m e mb e rik a n kontribusi te r h a d a p k e b a ikan man u sia, di a nta ra n y a memb a ca , menuli s , d a n b e rhitun g , s e r t a t i nd a k a n   sos i a l   y a n g  rasional ü P e ndid i k a n   me r up a k a n   p e rsi a p a n   b a g i w a r ga ma s y a r a k a t y a n g b e r a d a b ü B a g i e s e nsialis dipe r lukan g u r u y a n g d e w a s a , m e ma h a mai p e laj a r a n, d a n mampu menstr a n f o r masik a n p e ng e tahu a n d a n ni l