PARADIGMA
RASIONAL EMPIRIK OBJEKTIF: TINJAUAN FILOSOFIS DAN TEORITIS METODOLOGI
PENELITIAN KUALITATIF
(Paradigma
Kedua)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
. Usaha manusia
untuk mengatasi masalah dalam kehidupan di dunia, baik selaku makhluk individu
maupun sosial akan selalu berkembang. Manusia akan bertemu dengan problematika
dalam interaksi sosialnya dengan beragam vaiabel. Untuk mengatasinya maka
manusia menggunakan nalarnya melalui proses berfikir logis. Seni berfikir dan
bertindak ilmiah untuk menemukan jawaban permasalahan dengan metodologi dan
sistematika yang berlandaskan pada hukum-hukum dan teorema dapat disebut
sebagai penelitian.
Pemilihan jenis penelitian
harus dipahami oleh peneliti. Ini selalu didasarkan pada masalah yang diteliti,
bukan ditetapkan jenis penelitiannya dahulu baru ditetapkan masalahnya. Hal ini
disebabkan adanya kenyataan bahwa penelitian itu dilakukan karena ada masalah.
Alasan pemilihan suatu metodologi tentunya didasarkan pada kesesuaiannya dengan
masalah penelitian, tujuan penelitian, serta prosedur penelitian yang cocok,
hasil yang diharapkan, dan kondisi kelompok sasaran atau objek penelitiannya.
Manusia sebagai
makhluk sosial dalam hidup bermasyarakat dekat sekali dengan konflik dan interest karena manusia akan selalu
memenuhi kebutuhan dan tuntutannya. Terdapat pembahasan manusia dalam
organisasi masyarakat, manusia dengan budaya, manusia dengan kehidupan ekonomi,
kehidupan masa lalu manusia dan sebagainya. Ini termasuk kebutuhan dalam aspek
pendidikan. Pendidikan sebagai bagian dari kehidupan sosial masyarakat sangat
kompleks permasalahannya. Dan penelitian ilmiah menjadi cara efektif rasional
untuk mendapatkan pemecahan.
Data penelitian
sosial pada bidang pendidikan dan sosial dapat berbentuk nominal (jenis
kelamin, tingkat pendidikan, jenjang sekolah, pekerjaan), ordinal (kelas,
juara), rasio, dan interval (nilai, berat, panjang, usia). Data penelitian juga
dapat berbentuk gambar, suara, dokumen tertulis dan tidak tertulis, atau non
angka. Pada penelitian kualitatif, sumber data dapat berupa informan atau responden
dari sampel terpilih, serta sumber data sekunder yang mendukung sumber primer. Penentuan
sumber data hingga pemilihan sampel harus disesuaikan dengan tujuan penelitian.
Tujuan penelitian dirumuskan dalam kerangka berfikir yang mengikuti paradigm
penelitian yang tepat. Ini penting karena paradigma berfikir peneliti akan
mempengaruhi konsepsi, hingga metodologinya guna mendapatkan jawaban atau
kebenaran.
Paradigma
penelitian merupakan kerangka berpikir yang menjelaskan bagaimana cara pandang
peneliti terhadap fakta kehidupan sosial dan perlakuan peneliti terhadap ilmu
atau teori. Paradigma penelitian juga menjelaskan bagaimana peneliti memahami
suatu masalah, serta kriteria pengujian sebagai landasan untuk menjawab masalah
penelitian. Namun, pemahaman peneliti terhadap bangunan filosofis, teoritis
dari karakteristik penelitiannya tidak selalu baik. Akibatnya
metodologi penelitian dan hasilnya akan bias.
Penelitian
kualitatif melibatkan penggunaan dan pengumpulan berbagai kasus bahan studi
empiris, pengalaman pribadi, introspektif, wawancara cerita kehidupan,
momen-momen rutin dan problematis pengamatan, sejarah, interaksional, dan
visual teks-yang menggambarkan dan makna dalam kehidupan individu. Artinya,
penelitian kualitatif lebih mengarah ke pemaknaan terhadap proses dan bukan
hasil. Peneliti menjadi instrumen penting dalam semua proses penelitian. Kaitan
dengan ini, akan menjadi permasalahan yang berarti jika peneliti kurang
membekali dengan pemahaman mendalam tentang landasan filosofis, teoritis, hingga
metodologi peneliti yang akan diteliti. Dengan demikian telaah paradigma
metodologi penelitian kualitatif penting dilakukan sebagai bagian dari tradisi
keilmuan.
B. Rumusan Masalah
Makalah ini
berusaha mengkaji paradigma penelitian kualitatif dengan rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa
orientasi umum metodologi penelitian?
2. Bagaimana
metodologi
penelitian kualitatif dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik?
3. Bagaimana
gambaran realisme baru kualitatif?
4. Bagaimana
kesimpulan komparatif metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filosofis
positivisme dan rasionalisme?
C. Tujuan Penulisan
Sesuai dengan
rumusan masalah maka tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1. Orientasi
umum metodologi penelitian
2. Metodologi penelitian kualitatif
dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik.
3. Gambaran
realisme baru kualitatif.
4. Kesimpulan
komparatif metodologi penelitian kualitatif berlandaskan filosofis
positivisme dan rasionalisme
D. Manfaat Penulisan
Makalah
ini diharapkan memiliki kegunaan berikut ini:
1.
Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat
mengetahui, memahami orientasi umum metodologi penelitian.
2.
Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat mengetahui,
memahami, mendalami metodologi
penelitian kualitatif dalam pendekatan positivistik dan rasionalistik.
3.
Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat
mengetahui, memahami realisme baru kualitatif.
4.
Mahasiswa, peneliti, dan pembaca dapat
mengetahui, memahami kesimpulan komparatif metodologi penelitian kualitatif
berlandaskan filosofis positivisme dan
rasionalisme.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Orientasi Umum Metodologi Penelitian
1. Metodologi
Penelitian dan Rumusan Substantif Kebenaran
Sering terjadi
perdebatan dalam pemberian pengertian, definisi, atau dalam ranah aplikasi
terkait metoda dan metodologi penelitian. Ini karena pengetahuan, pemahaman,
kemampuan berfikir kiritis orang berbeda. Menurut Muhadjir (1996: 3),
setidak-tidaknya ilmuwan peneliti yang bersangkutan perlu tahu dia menggunakan
landasan filsafat ilmu yang mana untuk metodologi penelitian yang digunakannya;
sehingga yang bersangkutan sadar setidak-tidaknya dalam dua hal, yaitu sadar
akan kelebihan dan kelemahan metodologi yang digunakan, dan sadar bahwa ada
metodologi penelitian lain yang menggunakan landasan filsafat berbeda.
Lebih lanjut
dikatakan Muhadjir, bahwa metode penelitian berbeda dengan metodologi
penelitian. Metodologi penelitian membahas konsep teoritik berbagai metoda,
kelebihan dan kelemahannya, yang dalam karya ilmiah dilanjutkan dengan metoda
yang digunakan. Sedangkan metoda penelitian mengemukakan secara teknis tentang
metoda-metoda yang digunakan dalam penelitiannya. Metodologi penelitian
merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian, ilmu tentang
alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal sebagai ilmu
tentang alat untuk mencari kebenaran. Bila ditata dalam sistematika, metodologi
penelitian merupakan bagian dari logika (Muhadjir, 1996:4).
Sebelum pembahasan
tentang kebenaran, perlu diingat kembali bahwa untuk menjawab permasalahan maka
membutuhkan cara berfikir yang sistematis, objektif, menggunakan ilmu pengetahuan
tertentu. Filsafat ilmu bertugas memberi landasan filosofik untuk minimal
memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu, sampai membekalkan
kemampuan untuk membangun teori ilmiah (Muhadjir, 2001:2). Setidaknya ada empat
objek telaah filsafat ilmu, yaitu fakta atau kenyataan, kebenaran, uji konfirmasi,
dan logika inferensi.
Filsafat ilmu
sebelum abad ke-18 dikuasai oleh dua pemikiran deduktif, yaitu formil
Aristoteles dan logika materiil aksiomatik Euclides. Logika formil Aristoteles
menguji kebenaran berdasarkan relasi antar proposisi. Logika aksiomatik
Euclides menguji kebenaran materiil berdasar kesesuaian antara empirik dengan
aksiomanya. Aksioma adalah kebenaran yang tidak perlu dibuktikan lagi karena
sudah self-evident (Muhadjir,
2016:26-27). Logika materiil induktif selanjutnya mendominasi pada abad XX.
Logika ini berlandaskan filsafat positivisme.
Rumusan substantif
tentang apa itu kebenaran (truth) dikenalkan Michael William menjadi lima,
yaitu kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif,
kebenaran pragmatik, dan kebenaran proposisi (dalam Borchart, 1996) serta
kebenaran paradigmatik atau konstruktif (Muhadjir, 2001, 16-17). Kebenaran
proposisi dapat diperoleh jika proposisinya benar. Proposisi adalah suatu
pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks (h.17). Dalam logika proposisi
maka kebenaran dapat bersifat formal (logika Aristoteles) dan logika materiil
kategorik (Euclides). Kebenaran korespondensi adalah berfikir tentang
terbuktinya sesuatu relevan dengan sesuatu lain. Korespondensi relevan
dibuktikan antara fakta dengan belief
yang diyakini (h. 18). Kebenaran koherensi bermakna sesuatu yang koheren dengan
sesuatu lain, ada kesesuaian atau keharmonisan dengan sesuatu yang memiliki
hierarki yang lebih tinggi (skema, nilai, system) (h.18). Kebenaran struktural
paradigmatik berkembang dari kebenaran korespondensi. Namun, dalam praktik
analisis statistik multi variable
perlu dimaknai korespondensi keseluruhan struktur tata hubungan agar mampu
memberi eksplanasi atau inferensi yang menyeluruh (h. 18). Selanjutnya
kebenaran pragmatik menampilkan teori kebenaran performatif dan pragmatik.
2.
Filsafat
Keilmuan: Pola Berfikir Kausal
Sistem logika
merupakan sistem berfikir yang menggunakan adat tertentu untuk mendeskripsikan
sampai membuat inferensi dalam ilmu pengetahuan. Pola berfikir kausal sebagai basic pattern of logic dimaknai sebagai
pola mencermati proses perubahan dari objek yang diteliti (Muhadjir, 2016:31)
Aristoteles
mengenalkan empat causa, yaitu quod
atau kausa efisien, causa ut atau
kausa final, kausa formil, dan kausa meteriil. Dalam filsafat modern, kausa
formil dan kausa materiil Aristoteles dikenal dalam terapan teori-teori
insrumentatif dan substantif. Beberapa konsep kausa antara lain: 1) Immanuel cause (sebab menghasilkan
perubahan pada objek itu sendiri) dan transient
cause (sebab yang menghasilkan perubahan pada objek lain); 2) Causa cognescendi (kausa sebagai
landasan kebenaran) dan causa fiendi
(landasan eksistensi tertentu); 3) Physical
Cause oleh John Stuart Mill, mampu dikonformasikannya hanya pada objeknya
itu sendiri; 4) Descartes,
1506-1650, dikenal sebagai rasionalis dengan istilah cogito ergo sum (aku ada maka berfikir) mengembangkan kausalitas
berdasar berfikir dan berimajinasi dan John
Locke yang dikenal sebagai empirik, mengembangkan sebab akibat berdasarkan
empirik; 5) Berkeley, 1685-1753,
menampilkan bukti-bukti kausalitas (bukti instrumentatif) yang pada positivism
modern diterapkan pada teori-teori fungsional, serta Hume yang mempertahankan bukti kausalitas substantif empirik (h.
32).
Kausalitas dalam
konsep modern menggunakan tiga konsep uji kausalitas yang diakui pada
positivism dan rasionalisme, yaitu 1) mencermati sebab pada objek atau
substansi itu sendiri (physical cause Mill), 2) mencermati perubahan materiil
pada objek atau substansi pada objek lain (kausalitas John Locke & Hume),
dan 3) mencermatik peranan dimensi formil pada objek lain (kausalitas formil
atau instrumentatif Barkeley). Cara mencermati hubungan kausal dapat
menggunakan argumentasi kausal, mencermati kompleksitas, pengayaan, dan
menggunakan berfikir Gestalt (h.33). Dalam perkembangannya, realisme modern
yang berusaha mensinkronkan tuntutan bukti empirik objektif dengan tuntutan
rasional objektif, menuntut constructed
theory, suatu kebenaran dalam konstruk paradigmatik.
B. Metodologi Penelitian Kualitatif dalam
Pendekatan Positivisme dan Rasionalistik
1. Metodologi Penelitian Kualitatif
dalam Pendekatan Positivisme
Istilah positivisme digunakan pertama kali oleh Saint
Simon (sekitar tahun 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan
pertama kali oleh empirist Inggris, Francis Bacon (sekitar tahun 1600). Tesis
positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan (Muhadjir,
2001:69).
Ada lima acuan filosofis dasar yang penting dipahami
peneliti untuk implementasi metodologis pada penelitian kualitatif dengan
pendekatan positivisme, yaitu 1) acuan hasil penelitian terdahulu, 2) pilah
antara analisis dan sintesis, 3) tunduk pada fakta objektif, 4) argumentasi
empirik, dan 5) realitas (h. 37-39). Pertama,
positivisme tunduk kepada bukti kebenaran empirik, maka sumber pustaka yang
dicari adalah bukti empiric hasil-hasil penelitian terdahulu. Kedua, bahwa positivisme berfikir
analistis: mengurai segala sesuatu sampai unit sekecil apapun. Berfikir
analitis menjadi sifat dominan dalam berfikir positivistik, dipilah atau
dipisah secara jelas dengan sistesisnya. Tuntutan analisis yang rasional
objektif berdasar empirik menjadi penting dalam positivisme. Ketiga, positivisme hanya mengakui
kebenaran fakta objektif sebagaimana indra menangkapnya, fakta objektif itu received view (h.38). Keempat, semua karya ilmiah dituntut
disajikan dengan argumentasi rasional empirik. Ada argumentasi atau
pertanggungjawaban yang mempunyai keruntutan logik dan ada bukti empirisnya.
Bukti-bukti empiris objektif dalam positivisme perlu ditata dalam keruntutan logik,
konsistensi alur pikir yang digunakan, dianalisis, barulah dibuat kesimpulan. Kelima, fakta atau data merupakan raw materials yang dalam himpunan
tertentu menjadi realitas. Realitas menjadi kebenaran-kebenaran empirik yang
perlu dicari maknanya (h.39).
Terdapat ragam metodologis positivisme kualitatif
diuraikan lebih lanjut sebagai berikut:
a. Studi
Cross Sectional
Studi cross sectional adalah studi yagn sifatnya mengambil sampel waktu,
sampel perilaku, sampel kejadian pada suatu saat tertentu saja (Muhadjir,
2016:43). Kebalikannya adalah studi longitudinal di mana studi yang sifatnya
berkelanjutan untuk jangka waktu relatif panjang, mengikuti proses interaktif
beragam variabel.
Variabel adalah
satuan terkecil objek penelitian, contohnya adalah minat, intelegensi, status
sosial, dan sebagainya. Variabel terbagi atas 1) variabel yang relevan, 2)
variabel yang mungkin relevan, 3) variabel yang tidak relevan. Metodologi
penelitian positivistik menuntut yang teramati-terukur maka variabel juga dapat
dipilah menjadi 1) variabel yang dapat diamati secara langsung, 2) variabel
yang tidak dapat diamati lewat gejala-gejalanya. Berdasarkan tata pikir logik
yang dominan dalam metodologi penelitian positivistik adalah kausalitas, tiada
akibat tanpa sebab, dan tiada sebab tanpa akibat maka variabel dibedakan
menjadi 1) variabel independen dan 2) variabel dependen. Tata pikir realisonal
(korespondensi, kausal, dan interaktif) menjadi sentra pola pikir positivistik
yang akan tampil dalam desain penelitian dan ragam analisis data. Lebih lanjut
dijelaskan Muhadjir (2016) bahwa tidak semua variabel dapat dimanipulasi, dapat
dikontrol atau dipengaruhi oleh peneliti, sehingga variabel juga dapat dipilah
menjadi 1) variabel statis (umur, jenis kelamin), 2) variabel dinamik
(kesehatan, prestasi) (h. 44). Dengan demikian jenis variabel dapat dipilih
berdasarkan tipe studinya.
Ada sejumlah unsur
yang perlu diperhatikan untuk menyusun desain penelitian, yaitu 1) tata
konstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel, 3) instrumentasi
pengumpulan data atau teknik perekaman data, 4) teknik analisis, 5) uji
instrument atau uji kualitas rekaman, 6) makna internal hasil penelitian, 7)
makna eksternal hasil penelitian (h. 46). Pada poin tata konstruksi variabel
perlu sinkron dengan konseptualisasinya. Ragamnya adalah korespondensi,
kausalitas, atau interaktif. Suatu argumen yang kuat atau bukti empirik lain
diperlukan bila hendak mengkonstruksi hubungan interaktif yang mendeskripsikan
variabel. Setelah menyusun kerangka konseptual maka merumuskan permasalahan-permasalahan
penelitian.
Terdapat beberapa
deskripsi tentang istilah masalah, yaitu 1) sesuatu menjadi masalah ketika
dijumpai kesenjangan antara kenyataan dan harapan, 2) sesuatu menjadi masalak
ketika dijumpai kontradiksi antar empiri yang relevan, 3) sesuatu menjadi
masalah ketika dijumpai tidak cocoknya teori dengan realitas, 4) sesuatu
menjadi masalah ketika konsekuensi logisnya belum diketahui atau belum dapat
dipertanggungjawabkan (h.47).
Pada langkah
pengambilan sampel atau subjek penelitian, dalam berfikir positivistik dikenal
teknik random atau acak dan purposive.
Teknik purposive sampling digunakan
bila peneliti menduga bahwa populasinya (dilihat dari objek studi yang dipilih)
tidak homogen. Unit sampel tidak terbatas dalam arti individual namun dapat
dapat berdasarkan kelompok atau wilayah atau tingkat. Sampel penelitian
kualitatif umumnya mengambil sampel lebih kecil dan pemilihannya cenderung
menggunakan purposive daripada
random. Penelitian kualitatif lebih mengarah ke penelitian proses daripada
produk, dan biasanya membatasi pada satu kasus. Namun sejumlah peneliti
berusaha memperluas dengan pengambilan kasus sekaligus banyak. Multiple case research bukan hanya
menetapkan siapa yang akan diobservasi atau diwawancarai namun menetapkan
konteks, kejadian, dan prosesnya (h. 49).
Pada langkah
penyusunan instrumen dan atau perekaman data memerlukan berfikir
reduktif-representatif. Data kualitatif adalah data yang disajikan dalam bentuk
kata verbal, bukan dalam bentuk angka. Data kata verbal yang beragam perlu
diolah agar menjadi ringkas dan sistematis. Olahan tersebut mulai dari
menuliskan hasil observasi, dokumentasi, wawancara, atau rekaman, mengedit, mengklasifikasi, mereduksi, dan
menyajikan.
Sejumlah langkah
analisis selama pengumpulan data menurut Miles dan Huberman (1984) adalah:
1) meringkaskan
data kontak langsung dengan orang, kejadian, situasi di lokasi penelitian. Pada
langkah ini termasuk memilih dan meringkas dokumen yang relevan,
2) pengkodean
dengan simbol atau ringkasan, terstruktur, rinci, terintegrasi dalam sistem,
3) pembuatan
catatan objektif
4) membuat
catatan reflektif
5) membuat
catatan marjinal
6) penyimpanan
data
7) analisis
selama pengumpulan data
8) analisis
antarlokasi
9) pembuatan
ringkasan
Penyajian data
menurut Miles dan Huberman (dalam Muhadjir, 2016:53) disajikan dalam 9 model,
yaitu:
1) model
1, untuk mendeskripsikan model penelitian, dapat berupa sosiogram,
2) model
2, dipakai untuk memantau komponen atau dimensi penelitian, disebut check list
matrix,
3) model
3, mendeskripskan perkembangan antar waktu, menggunakan deskripsi verbal berupa
kata, frasa.
4) Model
4, matriks tata peran, mendeskripsikan pendapat, sikap, kemampuan, misal
siswa-guru-kepala sekolah,
5) Model
5, matriks konsep terklaster,
6) Model
6, tentang efek atau pengaruh,
7) Model
7, dinamika lokasi,
8) Model
8 menyusun daftar kejadian,
9) Model
9, jaringan klausal dari sejumlah kejadian.
Pada tahap
kesimpulan, terdapat 12 siasat melalui telaah sajian matriks, grafik, dan
semacamnya sebagaimana dinyatakan Miles dan Huberman (dalam Muhadjir,
2016:56-57), yaitu 1) menghitung, 2) temukan pola atau tema, 3) tampak cukup
beralasan, 4) mengklasterkan, 5) membuat metaphor, 6) memecah variabel, 7) dari
yang spesifik cari ide generalisasinya, 8) memfaktorkan, 9) cari relasi
antarvariabel, 10) cari intervening variabel, 11) konstruksikan mata rantai
logic antara berbagai evidence, 12) susunlah konsep atau teori yang koheren.
b. Studi
Kasus Pendekatan Klinik dan Genetik
Studi kasus dilihat dari dimensi
tertentu dapat disebut sebagai studi longitudinal, yang diperlawankan dengan
studi cross sectional. Studi kasus
sebagai studi longitudinal dibedakan menjadi retrospektif dan prospektif
(Harton & Hunt, 1976, dalam Muhadjir, 2016:59). Studi kasus retrospektif
digunakan untuk kepentingan klinis. Objek studi ini adalah penyimpangan yang
terkait dnegan broken home,
lingkungan miskin, perilaku sosial atau antisosial, dan lain-lain. Desainnya
selalu mengarah ke keperluan kuratif. Studi kasus prospektif mengambil objek
perkembangan normal, digunakan untuk keperluan penelitian, mencari kesimpulan,
diharapkan dapat ditemukan pola, kecenderungan, arah , dan lainnya. Studi kasus
itu merupakan studi yang mendalam tentang individu dan berjangka waktu relatif
lama. Dalam studi kasus yang cross
sectional merupakan studi yang singkat namun menjangkau populasi yang relatif
lebih luas.
Terdapat teknik
studi ex post facto, merupakan model
studi yang prosesnya telah selesai. Sedangkan tracer study diterjemahkan sebagai studi penelusuran. Dalam arti
sekarang menjadi studi longitudinal dan mengobservasi objek untuk diungkap
pola, arah, kecenderungan dalam jangka waktu lama, berkelanjutan, dan terus
menerus (h.61).
Secara umum dapat
disimpulkan bahwa studi kasus lebih banyak menggunakan pendekatan informal,
metode penelitian berupa observasi, wawancara, dan dokumentasi. Kesimpulannya
bersifat deskriptif.
Berikut ini
dijelaskan studi kasus dengan pendekatan klinis dan genetik.
1)
Studi
kasus pendekatan klinik
Desain studi kasus untuk
tujuan klinik memuat lima komponen, yaitu 1) identifikasi status situasi bagi
perlakukan kuratif, 2) pengumpulan data, pengujian kemampuan indra, kesehatan,
pendidikan, dan mental, serta mengadakan penelaahan biografinya, 3) membuat
diagnosis dan identifikasi faktor penyebab, 4) penyesuaian, perlakuan, dan
terapi (program rehabilitasi), dan 5) program tindak lanjut (revalidasi) (h.61).
Tahap pertama,
identifikasi status situasi mencakup upaya-upaya 1) menajamkan objeknya, 2)
menajamkan wawasan teoritis dan mampu memilih teknik studi yang tepat. Tahap
kedua berupa pengumpulan data perlu diarahkan pada mencari factor penyebab
penyimpangan untuk membuat landasan dalam membuat diagnosis serta membuat
terapinya. Tahap ketiga adalah membuat diagnosa. Subjek yang membutuhkannya
adalah 1) kelompok tuna mental dan tuna daksa, 2) kelompok tuna sosial, moral,
dan emosional, 3) mereka yang belajar di bawah rata-rata, 4) mereka yang bakat
latennya tidak tersalur. Teknik diagnosisnya meliputi 1) tes kemampuan dasar,
2) hasil belajar, 3) kepribadian, 4) observasi kebiasaan, sikap, dan reaksinya,
5) pekerjaan tertulis klien, 6) jawaban dan reaksi oral, 7) wawancara, dan
lainnya (h. 62). Langkah keempat adalah melakukan penyesuaian, memberikan
perlakuan, membuat terapi. Langkah kelima adalah tindak lanjut, yaitu upaya
menjadikan subjek valid, dapat diterima.
2)
Studi
kasus pendekatan genetik
Studi
kasus pendekatan genetik berupaya mencari kebenaran ilmiah dengan cara
mempelajari secara mendalam dan dalam jangka waktu lama. Studi kasus genetik
berusaha memahami perkembangan pribadi, kelompok, lembaga, bahkan perkembangan
masalahnya. Studi kasus lebih bersifat penjelajahan dan kesimpulannya lebih
bersifat deskriptif. Desain yang paling sederhana adalah studi kasus tunggal
yang dapat dipelajari secara longitudinal
atau simultaneous cross sectional. Analisis studi kasus
menyangkut objek-objek seperti karakteristik pribadi, telaah sifat khasnya,
masa lampaunya. Simultaneous cross sectional dapat berupa perkembangan bahasa pada anak dengan
mengambil objek anak usia balita, usia SD, usia SMP, dan usia SMA (h.64).
c. Survei
Survei bertujuan untu membuat
generalisasi, sebagian untuk membuat prediksi. Generalisasi yang dimaksud
adalah terbatas pada kasus lain yang memiliki karakteristik dan tipe sama.
Generalisasinya bersifat mother
population, bukan generalisasi dari sampel yang representatif terhadap
populasinya. Sampel survei dibandingkan dengan studi kasus lebih luas (h.65). Survei
lebih bersifat cross sectional. Pengumpulan
datanya paling banyak menggunakan kuesioner dengan pendekatan formal. Sedangkan
kesimpulan dibangun dari inferensial.
Terdapat
dua jenis survei, 1) survei untuk mengetahui data dasar, mengungkap fakta,
gambaran umum, yang bermanfaat untuk membuat perencanaan kebijakan publik,
contohnya sensus, 2) survei untuk memprediksi suara pemilih, dasarnya adalah
suka dan tidak suka. Dasar pengambilan sampel dalam survei adalah representatif
terhadap populasinya. Ada empat metode yaitu 1) pengambilan sampel sistematik,
2) secara acak, 3) dengan kuota, 4) secara purposive
(h. 65).
Pertanyaan-pertanyaan
yang perlu dijawab dalam menyusun desain survei adalah 1) berapa banyak sampel
yang akan diambil. Pengambilan sampel yang direkomendasikan adalah pertimbangan
yang mengarah dari acak ke berstrata, jenjang ganda, sistematik, atau multipurpose; 2) pengambilan distribusi
sampel pada populasi. Hal praktis yang perlu dipertimbangkan adalah mudahnya
mendapatkan asisten peneliti di lokasi penelitian, kemampuan menyupervisi
kegiatan di lapangan, kelompok analisa sekaligus penyusun laporan final,
pembiayaan, keragaman sampel; 3) penetapan unit sampel, menampilan sampel dalam
beberapa jenjang/tahap/strata; 4) teknik seleksi responden, 5) estimasi,
disarankan menggunakan self-weighting, argumentasi (h. 67-68).
Empat
hal yang perlu dirancangkan dan dimasukkan dalam desain penelitian survei adalah
1) merancang dan menguji kuesioner, 2) merancang ketenagaan, 3) merancang agar
diperoleh dan dijaga kerjasama dengan responden, 4) memilih waktu yang tepat.
Pertama, dalam merancang kuesioner perlu memperhatikan bagaimana responden
dapat dijangkau (wawancara langsung, lewat pos, dan lainnya) dan spesifikasi
data yang diinginkan. Kedua, dalam merancang ketenagaan, perlu mempertimbangkan
tingkat keterlibatan dan kualifikasinya. Ketiga, menjaga hubungan kerjasama
dengan responden dapat dilakukan dengan adanya kata pengantar kuesioner, adanya
prangko balasan, merahasiakan identitas responden, pemberian souvenir kenangan
dan terimakasih. Keempat, memilih waktu yang tepat dalam hal situasi dan
kondisi subjeknya, atau objeknya, misal mewawancarai pembinaan olahraga saat
prestasinya menurun (h. 68).
2. Metodologi Penelitian Kualitatif
dalam Pendekatan Rasionalistik
a. Rasionalisme
mengkounter positivisme
Menurut positivisme, ilmu yang valid
adalah ilmu yang dibangun dari empiri, sedangkan menurut rasionalisme ilmu yang
valid merupakan abstrak, simplifikasi, atau idealism dari realitas, dan
terbukti koheren dengan sistem logikanya. Rasionalisme menghayati kebenaran
karena ketajaman pikir manusia dalam memberi makna atau indikasi empiri.
Artinya, kebenaran tidak dibatasi oleh ukuran indrawi karena kebenaran dapat
ditangkap dari pemaknaan manusia terhadap empiri sensual. Proses berpikir
reflektif dalam rasionalisme tidak terbatas pada proses linear antara sebab dan
akibat, bukan dalam makna induksi dan deduksi, namun sejumlah proses
mondar-mandir dalam tata pikir logik lainnya, seperti konvergensi-divergensi,
instrumental-substansial, sentral-perifer, lateral sekuensial-vertikal, dan
lain-lain (Muhadjir, 1996:10-11). Pada rasionalisme terdapat dua generalisasi:
generalisasi dari objek spesifik atau hasil uji-makna-empirik, dan pemaknaan
hasil uji-reflektif kerangka teoritik dengan pemaknaan indikasi empirik.
Countering
rasionalisme terhadap positivisme menyangkut 1) peran dalam mengembangkan
teori, 2) proses analisis-sintesis, 3) fakta, 4) argumentasi, dan 5) realitas
(Muhadjir, 2016:77-78), diuraikan sebagai berikut:
1) Rasionalisme
sebagai bagian dari logika rasional empirik objektif dengan kemampuan berfikir
deduktifnya diharapkan dapat membuat ilmuwan menjadi lebih produktif dalam membangun
(kritik terhadap filsafat positivisme yang memiskinkan teori).
2) Proses
analisis-sintesis perlu dikembangkan dalam telaah reflektif yang mendudukkn
pentingnya rasio. Dalam rasionalitas, tuntutan rasional dibangun dari berpikir
kritis cerdas dengan menggunakan imajinasi rasional teoritis. Maknanya bahwa,
dengan tingkat pengetahuan sekarang secara reflektif dapat menampilkan
implementasi atau implikasi masa depan sesuai teori yang masih sulit
dibuktikan. Harapannya, terbangun imajinasi rasional teoritis untuk
menkonstruksi teori sehingga teori ilmu berkembang.
3) Fakta
teramati atau observed fact bagi
rasionalisme sudah theory laden,
sudah momot karena kemampuan berpikir
reflektif kita tentang imajinasi rasiona teoritis (kritik terhadap filsafat
positivisme bahwa kebenaran tunduk pada bukti empiric).
4) Argumentasi
rasional objektif dalam konteks teleologis
yang dibangun berdasar imajinasi rasional teoritis-dalam Bahasa merancang
sebabnya agar sesuai dengan akibat yang diharapkan (kritik terhadap positivisme
yang argumentasi dibangun dari sebab-akibat). Imajinasi dibangun dengan
landasan ilmiah yang benar meskipun baru sampai dataran teoritis).
5) Realitas
itu lebih dari sekedar inderawi. Menurut rasionalisme semua ilmu berasal dari
pemahaman intelektual yang dibangun atas kemampuan argumentasi secara logik.
b. Mengembangkan
grand-concepts
Imajinasi merupakan kekuatan kreatif
manusia, kemampuan formal yang merupakann landasan rasionalisme. Terdapat tiga
jenis imajinasi 1) imajinasi sebagai khayalan (liar), 2) imajinasi rasional
(tertuntun), dan 3) imajinasi moral. Dengan imajinasi rasional diharapkan
menuntun manusia membangun grand concepts
melalui 1) kemampuan teoritis, 2) invensi (penemuan),3) inovasi dan adopsi, dan
4) berangkat dari asumsi (Muhadjir, 2016:79). Dengan inspirasi dari pola pikir
rasional, ahli terbantu untuk menghasilkan hasil kerja empiri eksperimental,
seperti penelitian tentang genetika-kromosom. Berangkat dari idealism Plato,
idealism Kant, dan implikasinya dalam filsafat ilmu rasionalisme menjadi dasar
acuan mengembangkan grand-concepts
yang mungkin sudah merupakan grand theory.
Konstruksi teori
dibangun dari konseptualisasi teoritik sebagai hasil dari pemaknaan empiri
dalam arti sensual, logik, atau etik. Proposisi atau pendapat dikonstruksikan
dari sejumlah konsep. Konsep mendeskripsikan esensi dari sejumlah sesuatu.
Hipotesis, tesis, teori, dan juga asumsi, postulat, dan aksioma adalah
proposisi-proposisi bentuk lanjut yang dikonstruksikan dari banyak konsep
dengan tata pikir tertentu (Muhadjir, 1996:58-59).
c. Ragam
tata pikir logik
Tata
pikir logik pada pendekatan rasionalisme dapat diklaster, diuraikan sebagai
berikut.
1)
Klaster
A: Pola pikir genetik
Secara umum pola pikir
ini memandang bahwa manusia sering mengikuti pola pikir proses perkembangan,
pola pikir sejarah yang selanjutnya disebut pola pikir genetik. Pola pikir ini
berusaha memaknai sesuatu berdasarkan asumsi bahwa segala sesuatu itu
berkembang. Telaah perbandingan agama-agama Semitik termasuk pada pola pikir
ini.
Lebih lanjut macam tata
pikir genetik meliputi:
a)
pola pikir evolusioner, memaknai
segala sesuatu itu berkembang, dan melalui proses panjang dalam arti waktu. Di
dalamnya ada proses tumbuh, adaptasi, seleksi, dan persaingan dalam telaah
makro. Dalam arti perkembangan onto-genesis mengikuti perkembangan
filogenesisnya, dalam arti mikro evolusioner adalah perkembangan fungsi intern
dalam ontogenesisnya. Contoh dalam terapan adalah lahirnya teori Darwin tentang evolusi, dan teori genetik Mendel.
b) pola
pikir historik, pemaknaan perkembangan waktu lampau lebih dominan. Contoh dalam
terapan adalah teori perkembangan sejarah dari Toynbee yang sekaligus mengikuti pola pikir evolusioner. Arnold J.
Toynbee adalah seorang sarjana inggris yang mampu menggambarkan sejarah
dengan tulisannnya yang berjudul “ A Study Of History” berisi 12 jilid dan
merupakan hasil penyelidikan dari 21 kebudayaan yang sudah sempurna seperti
Yunani-Romawi, Maya (Amerika Serikat) dan lainnya. Toynbee merupakan penulis
besar, menghasilkan karya yang tidak terhitung jumlahnya tentang agama, sejarah
kuno dan modern, peristiwa kontemporer, dan hakekat sejarah. Setelah menamatkan
studinya pada tahun 1912, Toynbee menjelajahi situs-situs sejarah di Yunani dan
Itali. Menurut Toynbee, bahwa seluruh kebudayaan itu sama dengan civilization yang artinya wujud dari
seluruh kehidupan. Sedang gerak sejarah berjalan melalui tingkatan-tingkatan
yaitu; lahirnya kebudayaan, perkembangan kebudayaan dan runtuhnya kebudayaan.
c) pola
pikir prediktif Haler, memperkirakan
perkembangan berikutnya mengikuti perkembangan linier yang lampau, pola pikir masyarakat untuk mau merubah perilakunya menjadi perilaku
yang sesuai dengan budayanya,
d) pola
pikir antisipatif, mengakui perkembangan linier terduga dan tak terduga. Dalam
memprediksi masa depan memasukkan unsur idealisme, menciptakan kondisi agar
perkembangan masa depan sesuai harapan. Tokohnya adalah Alvin Toffler dan Daniel
Bell. Alvin Toffler adalah seorang penulis Amerika dan futuris, dikenal
karena karya-karyanya membahas teknologi modern, termasuk revolusi digital dan
revolusi komunikasi, dengan penekanan pada efek mereka pada budaya di seluruh
dunia. Melalui karyanya (the Third Wave,
1980), ia meramalkan kemajuan teknologi seperti kloning, komputer pribadi,
internet, televisi kabel dan komunikasi mobile. Fokusnya kemudian, melalui judul
Powershift (1990), tentang kekuatan
peningkatan perangkat keras militer abad ke-21 dan proliferasi teknologi baru.
Sedangkan Daniel Bell adalah seorang sosiolog Harvard University, dengan
karyanya In The Coming of Post-Industrial
Society: A Venture in Social Forecasting (1973) menjelaskan munculnya
masyarakat pasca-industri yang sekarang digunakan secara luas tentang
prinsip-prinsip baru inovasi, mode baru organisasi sosial, dan kelas-kelas baru
dalam masyarakat, di mana manusia tidak lagi bekerja menghasilkan barang dan
jasa namun akan dipimpin oleh informasi dan berorientasi layanan. Ada tiga komponen
untuk masyarakat pasca-industri, yaitu pergeseran dari manufaktur ke jasa,
sentralitas industri berbasis ilmu pengetahuan baru, munculnya elit teknis baru
dan munculnya sebuah prinsip baru stratifikasi. Bell juga membedakan tiga aspek
dari masyarakat pasca-industri: data, atau informasi yang menggambarkan dunia
empiris, informasi, atau organisasi yang data ke sistem yang berarti dan pola
seperti analisis statistik, dan pengetahuan, yang dikonsep Bell sebagai
penggunaan informasi untuk membuat penilaian.
e) pola
pikir kontekstual, melihat adanya keterkaitan antara perkembangan masa
lampau-kini-mendatang,
f) pola
pikir morfogenetis, mengakui bahwa perkembangan berlangsung kualitatif,
kuantitatif, dan berkelanjutan,
2)
Klaster
B: Pola pikir sistemasisasi
Klaster ini menjadi pola
sistemasisasi pengetahuan, meliputi:
a) pola
pikir sistematik, terapannya muncul dalam taksonomi, juga dari ekonomi mikro
(teori harga) menjadi makro (analisis pendapatan nasional), ilmu pendidikan
diklasisikasi menjadi subjek didik, pendidik, tujuan, dan konteks pendidikan.
b) pola
pikir fungsional, fokus perhatian pada fungsi, peran, bukan substansi,
c) pola
pikir pragmatik, bahwa sesuatu menjadi berguna jika ada kegunaannya atau peran
tujuannya,
d) pola
pikir kontekstual, mementingkan kekinian,
e) pola
pikir eklektik, memilih semua yang terbaik misal memenuhi kriteria dapat
diintregasikan, dapat dioperasionalisasikan, dan diakui validitas konsep
multidisiplin,
f) pola
pikir utopis,sesuatu yang diharapkan, dicita-citakan namun mungkintidak
terjangkau
3)
Klaster
C: Pola pikir statik & dinamik
Klaster ini memiliki ciri
sentral yang bergerak dari kutub statika ke kutub lain dinamika
a) pola
pikir struktural
b) pola
pikir mekanistik
c) pola
pikir organisk
d) pola
pikir psiko dinamik atau sosio dinamik
e) pola
pikir interaktif
f) pola
pikir sistemik
g) pola
pikir sinergis
4)
Klaster
D: Pola pikir pernyataan realitas
Klaster ini menyajikan
ragam istilah yang mendeskripsikan kedudukan pernyataan-pernyataan yang dibuat
orang, meliputi
a) pola
pikir perseptif
b) pola
pikir deskripsi
c) pola
pikir penafsiran
d) pola
pikir pemaknaan
5) Klaster E: Pola pikir perwujudan
realitas
Pada klaster ini realitas
dilihat dari perwujudannya, terbagi atas pola pikir:
a) Wujud
aksidental
b) Wujud
aktual
c) Wujud
esensial
6)
Klaster
F: Pola pikir instrumental substantif
Klaster ini dilihat dari
segi tujuan, realitas dipilah menjadi:
a) Instrumental
b) substansial
7)
Klaster
G: Pola pikir empat empiri
Dunia ilmu mengenal empat
empiri, yaitu, a) empiri sensual, b) empiri logik, 3) empiri etik, 4) empiri
transedental
8)
Klaster
H: Pola pikir prosedur cari kebenaran
Klaster ini menjadi ciri
esensial epistemologis dari semua metodologi penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan, yaitu
a) Pola
pikir deduktif,
b) Pola
pikir induktif,
c) Pola
pikir reflektif
9)
Klaster
I: Pola pikir cari hasil kebenaran
Klaster ini juga menjadi
ciri esensial epistemologis dari semua metodologi penelitian khususnya dalam
arti produk yang hendak dihasilkan, meliputi:
a) Pola
pikir kategoris,
b) Pola
pikir ideografis,
c) Pola
pikir tipologis,
d) Pola
pikir generalisasi,
e) Pola
pikir nomotetis
10) Klaster J: Pola pikir cari hubungan
beragam pemrosesan
Klaster ini berasumsi
bahwa sesuatu mempunyai keterkaitan dengan sesuatu yang lain termasuk
pemaknaanya, terdiri dari
a) Pola
pikir linear,
b) Pola
pikir interdependen,
c) Pola
pikir multilinear,
d) Pola
pikir vertical,
e) Pola
pikir hierarkis,
f) Pola
pikir horizontal,
g) Pola
pikir divergen,
h) Pola
pikir heterarkis,
i)
Pola pikir sekuensial,
j)
Pola pikir antisipatif,
k) Pola
pikir kontekstual,
11) Klaster K: Pola pikir idealisasi integrasi
Pola pikir klaster ini merujuk
pada pola mencari bersatunya berbagai sesuatu, yaitu:
a) Pola
pikir korespondensi,
b) Pola
pikir relevansi,
c) Pola
pikir konvergensi,
d) Pola
pikir Gestalt,
e) Pola
pikir integrasi,
f) Pola
pikir termostatis,
g) Pola
pikir triangulasi,
h) Pola
pikir sinkronisasi,
i)
Pola pikir kongruensi,
j)
Pola pikir konkurensi,
k) Pola
pikir harmoni,
l)
Pola pikir konformitas,
m) Pola
pikir koherensi,
n) Pola
pikir morfogenetis
12) Klaster L: Pola pikir kontradiksi
intern
Klaster ini memiliki ciri
esensi adanya kontradiksi intern, meliputi a) kontradiksi, kontradiksi netral;
b) kontroversi; c) paradox; d) dilemma; 5) dialektika
d. Desain
penelitian, penarikan kesimpulan, dan pemaknaan dengan pendekatan rasionalisme
Pola pikir pendekatan kualitatif pada
pembahasan ini bertolak dari logika reflektif. Relevansi dengan empiri penting,
tetapi yang lebih penting adalah tertangkapnya makna dibalik yang empiri.
Desain penelitian rasionalistik dari kerangka teoritik yang dibangun dari
pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal, pikiran para
pakar, dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung sejumlah problematik
yang perlu diteliti lebih lanjut. Ini berangkat dari pendekatan holistik yang
berupa grand-concept, diteliti pada
objek spesifik, dan didudukkna kembali hasil penelitianya pada grand-concept nya. Kerangka teoritik
tersebut perlu momot tiga komponen (Muhadjir, 1996:75), yaitu:
1) Ada
grand-concept, yang melandasi seluruh
pemikiran teoritik,
2) Teori
substantif,
3) Hipotesis/
tesis yang hendak diuji kebenarannya secara empiric
Membuat kesimpulan
bagi rasionalisme perlu mengarah ke membangun suatu teori baru. Bagi
rasionalisme mencari makna secara ontologik bergerak antara yang empiric
sensual yang logic dan yang etik, secara epistemologik menggunakan berfikir
reflektif, pola pikir divergen, kreatif, inovatif untuk mendapatkan makna yang
lebih jauh dari sekedar signifikansi (kritik terhadap positivistik
kuantitatif).
C. Realisme Baru Kualitatif
1. Pengantar
Menurut Muhadjir (2016:100),
metodologi keilmuan kualitatif potensial dan prospektif untuk dikembangkan.
Tradisi keilmuan rasional empirik objektif yang value free (bebas nilai), perlu dikembangkan lebih lanjut dengan
tradisi baru keilmuan rasional empirik interpretif fenomenologik. Ini agar yang
kualitatif objektif tidak terhenti sampai pola sebab-akibat. Realisme baru
dibangun oleh tuntutan adanya saling mendukung antara rasio dengan empiri dalam
membangun kebenaran, atau menggabungkan antara tuntutan positivisme kualitatif
dan rasionalisme kualitatif menjadi realisme baru kualitatif (h.101).
2. Arti
kebenaran
Masa
depan menuntut bukti kebenaran dalam konstruk, kebenaran dalam constructed fashion di mana objek
dianalisis tentang peran banyak variabel signifikan dalam suatu totalitas,
bukan sekedar membuktikan kebenaran parsial analitis. Kebenaran realisme baru menuntut adanya constructed facts, kumpulan fakta yang
totalitas memberi bukti empirik sesuatu kebenaran. Kebenaran realisme baru
menuntut constructed theory, bangunan
teori yang mengetengahkan banyak unsur teori khusus atau substantif, dan banyak
middle range theory atau teori
formal, menjadi satu konstruk yang bermakna. Dengan demikian constructed fashion potensial menjadi grand-theory.
D. Kesimpulan Komparatif
Berdasarkan
uraian di atas, dapat dinyatakan kesimpulan komparatif bahwa pola pikir
penelitian kualitatif menggunakan first
order of logic. Makna kebenaran pada penelitian kualitatif berlandaskan
pada filsafat yang diacu. Secara filosofis, penelitian kualitatif yang berlandaskan
pada filsafat positivisme sama seperti penelitian kuantitatif. Pertama, filsafat positivisme memandang
realitas/gejala/fenomena itu dapat diklasifikasikan, relatif tetap, konkrit,
teramati, terukur, dan hubungan gejala bersifat sebab akibat. Cara pandang ini
berkaitan dengan sifat deduktif. Logika deduktif menguji kebenaran kasus dengan
mencermati pada premis mayornya atau aksiomanya. Jika penelitian kualitatif
menggunakan filsafat positivisme maka teori metodologi yang berlaku sama dengan
teori metodologi pada penelitian kuantitatif, seperti objek studinya terukur
dan mudah diamati, bedanya pada rekaman data dan analisis. Kedua, metodologi penelitian dengan pendekatan positivistik
mendudukkan tata pikir relasi menjadi dominan (korelasi, sebab-akibat atau
kausalitas, interdependensi, relasi timbal balik atau interaktif). Sedangkan
pendekatan rasionalistik mengenal tata pikir logik lain, alternatif penalaran disamping
tata pikir relasi, secara terbuka, dapat dikombinasikan untuk mengkonstruksikan
sejumlah konsep menjadi proposisi, hipotesis, postulat, aksioma, asumsi, atau
emengkonstruksi teori. Ketiga,
positivistik menspesifikkan objek penelitian dengan mengeliminasikan dari
variabel atau faktor lain, yang rasionalistik mendudukkan objek spesifikdalam
totalitas holistic. Keempat, positivistik
membatasi hasil penelitian sampai pembuatan kesimpulan, rasionalistik
dilanjutkan dengan pemaknaan. Kelima,
jika menggunakan filsafat rasionalisme maka tidak berdasarkan frekuensi dan variansi
namun berlandaskan pada ditemukannya hal yang esensial, secara intrinsik benar.
Kebenaran dicari melalui sumber terpercaya sehingga hal yang hakiki,
instrinsik, essensial ditemukan. Menggunakan rasionalisme dalam menyusun
kerangka teori dan memberikan pemaknaan hasil penelitian dan menggunakan
positivisme dalam menguji empirik objek spesifiknya disebut postpositivisme.
Persamaan antara metodologi penelitian kualitatif
yang berlandaskan filsafat positivisme dengan rasionalisme adalah 1)
epistemologik, ada kesaman untuk memilah antara subjek peneliti dengan
objeknya, 2) produk ilmu sama, menjangkau ilmu yang nomothetik, membuat
prediksi dan hukum-hukum. Secara umum ada tiga argumen kesimpulan komparatif
cara pandang metodologi penelitian kualitatif berdasarkan landasan
filosofisnya:
1. Secara
ontologik, positivisme lemah dalam hal membangun konsep teoritik (positivisme
dianggap memiskinkan teori), karena dianggap tiada urunan dalam membangun
teori, tidak ada teori baru yang mendasar muncul. Rasionalitas diharapkan
2. Secara
aksiologi, kebenaran empirik yang diagungkan pada positivisme telah
mendegradasikan harkat manusia karena kebenaran tidak hanya dapat ditentukan
oleh inderawi. Kemampuan akal budi manusia lebih memberi arti daripada empiri
sensual, seperti empiri logik, etik, estetik.
3. Upaya membuat generalisasi pada positivisme
berpangkal dari objek spesifik dan berakhir pada hasil analisis dari objek ke
spesifik juga, sedangkan pada rasionalisme terdapat dua generalisasi:
generalisasi dari objek spesifik atau hasil uji-makna-empirik, dan pemaknaan
hasil uji-reflektif kerangka teoritik dengan pemaknaan indikasi empirik.
BAB
III
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
kesimpulan yang dapat dikemukakan sebagai berikut:
1. Metodologi
penelitian merupakan ilmu yang mempelajari tentang metoda-metoda penelitian,
ilmu tentang alat-alat dalam penelitian. Di lingkungan filsafat, logika dikenal
sebagai ilmu tentang alat untuk mencari kebenaran, kebenaran koherensi,
kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik, kebenaran
proposisi serta kebenaran paradigmatik atau konstruktif. Untuk menjawab
permasalahan maka membutuhkan cara berfikir yang sistematis, objektif,
menggunakan ilmu pengetahuan tertentu. Filsafat ilmu bertugas memberi landasan
filosofik untuk minimal memahami berbagai konsep dan teori sesuatu disiplin
ilmu, sampai membekalkan kemampuan untuk membangun teori ilmiah.
2. Tesis
positivisme adalah bahwa ilmu adalah satu-satunya pengetahuan yang valid, dan
fakta-fakta sajalah yang mungkin dapat menjadi objek pengetahuan. Ada lima
acuan filosofis dasar yang penting dipahami peneliti untuk implementasi
metodologis pada penelitian kualitatif dengan pendekatan positivisme, yaitu 1)
acuan hasil penelitian terdahulu, 2) pilah antara analisis dan sintesis, 3)
tunduk pada fakta objektif, 4) argumentasi empirik, dan 5) realitas. Terdapat
ragam metodologis positivisme kualitatif, yaitu studi cross sectional, studi kasus pendekatan klinik dan genetik, dan
survei. Ada sejumlah unsur yang perlu diperhatikan untuk menyusun desain
penelitian, yaitu 1) tata konstruksi variabel penelitian, 2) populasi sampel,
3) instrumentasi pengumpulan data atau teknik perekaman data, 4) teknik
analisis, 5) uji instrument atau uji kualitas rekaman, 6) makna internal hasil
penelitian, 7) makna eksternal hasil penelitian. Rasionalisme menghayati
kebenaran karena ketajaman pikir manusia dalam memberi makna atau indikasi
empiri. Artinya, kebenaran tidak dibatasi oleh ukuran indrawi karena kebenaran
dapat ditangkap dari pemaknaan manusia terhadap empiri sensual. Tata pikir
logik pada pendekatan rasionalisme dapat diklaster menjadi 12 klaster pola
pikir. Desain penelitian rasionalistik berangkat dari kerangka teoritik yang
dibangun dari pemaknaan hasil penelitian terdahulu, teori-teori yang dikenal,
pikiran para pakar, dan dikonstruksikan menjadi sesuatu yang mengandung
sejumlah problematik yang perlu diteliti lebih lanjut.
3. Realisme
baru dibangun oleh tuntutan adanya saling mendukung antara rasio dengan empiri
dalam membangun kebenaran, atau menggabungkan antara tuntutan positivisme
kualitatif dan rasionalisme kualitatif menjadi realisme baru kualitatif.
Kebenaran realisme baru menuntut adanya constructed
facts, kumpulan fakta yang totalitas memberi bukti empirik sesuatu
kebenaran. Kebenaran realisme baru menuntut constructed
theory, bangunan teori yang mengetengahkan banyak unsur teori khusus atau
substantif, dan banyak middle range
theory atau teori formal, menjadi satu konstruk yang bermakna.
4. Pola
pikir penelitian kualitatif menggunakan first
order of logic. Makna kebenaran pada penelitian kualitatif berlandaskan
pada filsafat yang diacu. Countering
rasionalisme terhadap positivisme menyangkut 1) peran dalam mengembangkan
teori, 2) proses analisis-sintesis, 3) fakta, 4) argumentasi, dan 5) realitas.
DAFTAR
PUSTAKA
Muhadjir,
Noeng. 1996. Metodologi Penelitian
Kualitatif. Edisi III. Yogyakarta: PT Bayu Indra Grafika
______________.
2001. Filsafat Ilmu: Positivisme,
Postpositivisme, dan Postmodernisme. Edisi III. Yogyakarta: Rake Sarasin
______________.
2016. Metodologi Penelitian: Paradigma
Positivisme Objektif, Phenomenologic Interpretif, Logika Bahasa Platonis,
Chomskyst, Hegelian & Hermeneutik, Paradigma Studi Islam, Matematik
Recursion-, Set Theory & Structural Equation Modeling dan Mixed. Edisi VI
Pengembangan Cetak Ulang 2016. Yogyakarta: Rake Sarasin
Komentar
Posting Komentar