Langsung ke konten utama

Perbandingan Filsafat Pendidikan Aliran Esensialisme dan Perenialisme

Aliran/ Aspek
Esensialisme
Perenialisme
Konsep pendidikan
ΓΌ Berakar dari filsafat idealisme dan relisme (Ornstein & Levine, 1985:189; Knight dalam Arif, 2007:176)

ΓΌ Prinsip sekolah adalah mengajarkan pengetahuan dasar, belajar adalah usaha keras dan menuntut kedisiplinan, guru adalah lokus otoritas ruang kelas (Knight dalam Arif, 2007:178-180)

ΓΌ Kaum esensialis yakin ada beberapa keahlian yang memberikan kontribusi terhadap kebaikan manusia, di antaranya membaca, menulis, dan berhitung, serta tindakan  sosial  yang  rasional
ΓΌ Pendidikan  merupakan  persiapan  bagi warga masyarakat yang beradab
ΓΌ Bagi esensialis diperlukan guru yang dewasa, memahamai pelajaran, dan mampu menstranformasikan pengetahuan dan nilai-nilai kebaikan kepada siswa.

ΓΌ Berakar dari filsafat realisme (Ornstein & Levine, 1985:189
ΓΌ Seperti Aristoteles, Aquinas (Gutek, 1974:  59) menegaskan bahwa aktivitas kemanusiaan tertinggi adalah ratio,   melatih intelektual, dan kekuatan berspekulasi.    Melalui kekuatan rasional yang terbatas, manusia dapat membedakan dirinya dengan objek yang lainnya, dan menjadi tahu akan dirinya sendiri. Kemampuan intelektual manusia memungkinkan dia menuju yang transenden, keterbatasan materi dapat dipahami dengan abstraksi universal, esential, dan kepastian  kualitas objek. Melalui berpikir, atau konseptualisasi, manusia dapat mengatasi keterbatasan primitif dan alaminya dan akan mengtransformasi lingkungan alami dirinya sendiri.
ΓΌ  Cuningham (Gutek, 1974: 58) menyatakan bahwa filsafat pendidikan perenialisme secara khusus berkaitan cita-cita, tujuan, dan akhir yang tak terbatas. Fungsi sekolah utamanya bukan tempat pemikiran secara ekslusif (h. 59).
Tujuan pendidikan

ΓΌ mendidik orang rasional (Ornstein & Levine, 1985:189)
ΓΌ Pendidikan sebagai upaya pelestarian sekolah, transmisi elemen dasar kebutuhan manusia
ΓΌ Para pendukung esensialisme percaya bahwa sekolah harus membekali siswa dengan kemampuan akademik dasar untuk bertahan hidup dalam masyarakat (Moss & Lee, 2010:38).
ΓΌ mendidik orang yang berguna dan kompeten  (Ornstein & Levine, 1985:189)
ΓΌ Hutchkins (Gutek, 1988: 273), mengatakan bahwa pendidikan seharusnya ditujukan untuk memelihara dan meningkatkan intelektualitas   manusia.
ΓΌ Sasaran pendidikan adalah kepemilikan atas prinsip-prinsip tentang kenyataan, kebenaran dan nilai-nilai abadi yang tidak terikat ruang dan waktu. Tolok ukur nilai-nilai bersifat mutlak, sehingga aliran ini menentang demokrasi yang murni

Kurikulum
ΓΌ Pendidikan dasar: membaca, menulis, aritmatik, sejarah, bahasa Inggris, ilmu pengetahuan, bahasa asing (Ornstein & Levine, 1985:189)
ΓΌ Behavioristik dalam pendekatan mengajar; peserta didik pasif, orang harus "dilatih" dengan pengetahuan.

Menurut Gutek (1974: 87):
ΓΌ Kurikulum dasar yang seharusnya menitikberatkan pada keterampilan dasar yang memberikan konstribusi pada peningkatan melek huruf,
ΓΌ Kurikulum    menengah    yang    seharusnya    terdiri    dari    pelajaran    dasar termasuk sejarah, matematika, sains, sastra, dan bahasa,
ΓΌ Disiplin tinggyang merupakan pelajarayang disesuaikan dengan kondisi sekolah dimana proses pembelajaran terjadi,
ΓΌ Menghargai  pemegang  kekuasaan  yang  sah  baik  di  sekolah  maupun  di masyarakat, sebuah tindakan yang bernilai yang harus ditanamkan dalam diri siswa, dan
ΓΌ Belajar  keterampilan  merupakan  pelajaran  yang  membutuhkan  ketuntasan
ΓΌ Demihkevich mengatakan bahwa  kurikulum harus berisikan moralitas yang tinggi (Jalaluddin & Abdullah Idi, 1997: 89)

ΓΌ materi pelajaran yang hierarkis diatur untuk menumbuhkan kecerdasan (Ornstein & Levine, 1985:189). Memuat unsur umum dan ilmu sejarah; Memuat materi tata bahasa, retorika, logika matematika, Memahami kata-kata tertulis, berbicara, penalaran
.
ΓΌ Jenjang pendidikan: dasar (imajinasi), menengah (bahasa, sejarah, IPS, IPA), dam perguruan tinggi (matematika dan puisi (tingkat I), IPA, seni rupa (tingkat II), filsafat (tingkat III), filsafat etika dan politik (tingkat IV)).
Peran guru
Teacher Centered
ΓΌ Guru adalah lokus otoritas ruang kelas (Knight dalam Arif, 2007: 180)
ΓΌ Guru seharusnya transfer pengetahuan kepada siswa yang biasanya berperan pasif dalam proses pembelajaran. Tes standar dipandang oleh essentialists sebagai patokan ideal untuk menilai siswa dan guru bertanggung jawab terhadap prestasi siswa (Moss & Lee, 2010:38).
ΓΌ Kegiatan anak didik tidak dikekang asalkan sejalan dengan fundamen yang telah ditentukan
ΓΌ Guru yang dewasa, memahamai pelajaran, dan mampu menstranformasikan pengetahuan dan nilai-nilai kebaikan kepada siswa.
Teacher Centered
ΓΌ Guru  atau  pendidik  adalah benar-benar sosok yang dapat diteladani dan menguasai bidang ilmunya sehingga peserta didik akan mendapatkan pendidikan yang berkualitas (Gutek, 1988: 272).
ΓΌ Guru menurut pandangan Aquinas (Gutek, 1974:58) harus menjadi komunikator yang terampil, seorang retorika yang halus budi. Untuk dapat berkomunikasi yang efektif, seorang guru harus memilih kata-kata yang benar, menggunakan gaya berbicara yang pantas, dan menyeleksi contoh   dan analogi yang tepat. Pengajaran harus selalu dimulai dengan apa yang anak-anak siap memiliki dan harus mengarah kepada sesuatu yang baru. Mengajar meliputi menstruktur dan mengorganisasi materi dengan hati-hati untuk diajarkan.
ΓΌ Perennialists berpendapat bahwa guru lebih berpengetahuan luas dibandingkan siswa yang belum lengkap terbentuk sebagai manusia. Karena itu, guru harus memegang otoritas dan perintah di dalam kelas (Moss & Lee, 2010:38).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Landasan Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pendidikan Matematika (1)

Landasan Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pendidikan Matematika (1) PENGANTAR Ini merupakan pokok bahasan pertama perkuliahan “Kajian Kurikulum Matematika”, oleh Prof Dr Marsigit, M.A. Mata Kuliah ini dimaksudkan untuk memberi kesempatan dan pelayanan kepada mahasiswa Program S3 Prodi Ilmu Pendidikan Konsentrasi Pendidikan Matematika, untuk membangun pemahaman dan memperoleh pengalaman mengembangkan Kurikulum Matematika dengan cara mengkaji, meneliti dan mensimulasikan Model Pengembangan Kurikulum Matematika. Kompetensi dasar sesuai dengan silabus beliau adalah “Mengkaji, memahami, menghasilkan,  mengelola dan menerapkan landasan pengembangan kurikulum matematika dan pendidikan matematika”. Kelas kami ada 9 orang perempuan semua, yaitu: Bu Salamia, Mb Rifa, Mb Puji, Mb Niken, Mb Dhian, Mb Nila (ijin), Mb Dhona, Mb Irma, dan saya. Pertemuan pertama kami tidak sampai 3 SKS karena beliau ada urusan dinas, yaitu sebagai Sekretaris Senat UNY. Beliau juga banyak tugas dinas...

Filsafat pendidikan yang paling mungkin diterapkan pada jenjang pendidikan tinggi di Indonesia

Pendidikan tinggi termasuk pendidikan bagi orang dewasa atau andragagi Menurut Tamat (1985) dalam Sunhaji, 2013: 3-4), asumsi model pendidikan andragogi adalah (1)    Konsep diri peserta didik : semakin mengarahkan diri (self-directing), (2)    Pengalaman peserta didik : Pengalaman nyata merupakan sumber belajar bagi dirinya, oleh karena itu metode penyampaianya ekperimen,percobaan, diskusi praktek problem solving (3)    Kesiapan belajar peserta didik : Berkembang dari tugas hidup & masalah, Orientasi tugas dan masalah ( task or problem centered ) (4)    Orientasi b elajar : Oleh dorongan dari dalam diri sendiri (internal incentives, curiosity) Berimplikasi pada : pendidikan tinggi perlu menciptakan iklim pembelajaran yang kondusif disesuaikan dengan karakteristik orang dewasa Berdasarkan pada telaah beberapa aliran filsafat pendidian yang berkembang di Barat, maka filsafat yang mungkin dapat diterapkan pada jenjang pendidikan...

POLA PIKIR GENETIK: METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN

RESUME MATA KULIAH METODOLOGI PENELITIAN PENDIDIKAN SUB MATERI : POLA PIKIR GENETIK A.       Landasan Umum Manusia menjalankan fungsinya sebagai makhluk individu, makhluk sosial, makhluk berbudaya. Sebagai makhluk yang berakal, manusia berada dalam siklus kehidupan. Dimulai dari masa kandungan-lahir ke dunia maka manusia melewati fase-fase perkembangan dan pengalaman, baik secara fisik, mental, maupun ruhani nya. Manusia mengalami perkembangan dari yang lebih elementer ke yang lebih sempurna, atau dari yang sederhana ke yang lebih kompleks, dan lain-lain yang disebut sebagai proses. Dengan demikian, secara logis manusia akan memiliki dokumentasi atas pikirannya, sikapnya, aktivitasnya dalam menjalani kehidupan, baik secara individu maupun ketika berada dalam keseluruhan atau kolektivitas di dunia. Artinya, manusia tidak bisa lepas dari keterkaitan, dari hubungan, dari keterpaduan dengan situasi dan kondisi yang berlangsung saat pemikiran, sikap, dan a...